Oleh:
Ipan
Setiawan
Baru saja bangsa Indonesia melaksanakan perhelatan demokrasi dengan diselenggarakanya pilkada di sejumlah daerah pada 27 November 2024 beberapa pekan yang lalu. Ada pihak yang kecewa, ada pihak yang bergembera mendapatkan hasilnya. Pertanyaanya adalah pakah pemimpin yang dihasilkan akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat banyak, atau justru melahirkan kesengsaraan?. Hal itu tergantung pada kebijakan pemimpin yang terpilih, kualitas kebijakan tentunya tergantung pada kualitas pemimpin, kualitas pemimpin sebanding dengan kualitas masyarakatnya, dan kualitas masyarakat sangat dipengaruhi oleh kualitas pendidikan.
Pendidikan adalah pusat pengkaderan sebuah bangsa. Di bidang
pendidikan ini estafet perjalanan sebuah bangsa dipastikan keberlanjutannya.
Dengan kata lain, jika pendidikan sebuah bangsa tidak berjalan dengan baik maka
keberlangsungan masa depan sebuah bangsa akan suram. Di dunia pendidikan inilah
disiapkan orang-orang yang nantinya akan mengisi pos-pos untuk menggerakkan
roda perkembangan sebuah bangsa. Menurut Tilaar (2000), “pendidikan berfungsi
sebagai sarana strategis dalam membentuk sumber daya manusia yang berkualitas
dan menjadi modal dasar bagi pembangunan bangsa”.
Pendidikan yang berkualitas akan melahirkan pribadi-pribadi yang
berkualitas. Pribadi-pribadi yang berkualitas akan melahirkan masyarakat yang
berkualitas, dan masyarakat yang berkualitas akan melahirkan pemimpin yang
berkualitas. Dalam sebuah kisah diceritakan pada satu waktu Imam Ali bin Abi
Thalib pernah diprotes oleh rakyatnya terkait kepemimpinannya yang lebih buruk
daripada pada masa kepemimpinan Khalifah-khalifah sebelumnya, yaitu Khalifah
Umar dan Khalifah Utsman. Lalu Khalifah Ali Ra. dengan mudahnya menjawab, “Pada
saat Umar dan Utsman menjadi Khalifah yang menjadi rakyatnya adalah orang-orang
seperti aku. Sedangkan pada saat aku menjadi Khalifah yang menjadi rakyatnya
adalah orang-orang seperti kamu.” Kisah ini memberikan sebuah gambaran bahwa
kualitas pemimpin mencerminkan bagaimana kualitas rakyatnya. Jika kualitas
pemimpin buruk maka masyarakat pun memiliki kualitas yang buruk. Sebaliknya,
pemimpin yang baik menggambarkan bahwa kondisi masyarakat juga baik.
Sebagaimana dikatakan oleh Santoso (2012), pemimpin adalah cerminan dari
masyarakatnya; perubahan kualitas masyarakat akan berdampak langsung pada kualitas
kepemimpinan.
Hal ini sangat logis, apalagi dalam sebuah masyarakat yang menganut
paham demokrasi, terutama demokrasi langsung yang dianut oleh bangsa Indonesia.
Karena penentuan pemimpin secara langsung ada di tangan masyarakat itu sendiri,
maka siapapun pemimpin yang jadi menggambarkan bagaimana kualitas para
pemilihnya.
Penyedia stok pemimpin bukanlah dunia pendidikan sebagaimana yang
sering digembar-gemborkan saat ini bahwa pendidikan adalah penghasil
calon-calon pemimpin masa depan bangsa. Penyedia stok pemimpin, sejatinya
adalah masyarakat itu sendiri, karena pemimpin itu lahir di tengah-tengah
masyarakat. Adapun dunia pendidikan perannya adalah memperbaiki masyarakat dan
meningkatkan kualitasnya dengan menyebarkan dan menanamkan ilmu semasif mungkin
di tengah-tengah masyarakat. Menurut Freire (1993), “pendidikan yang
membebaskan adalah pendidikan yang dapat meningkatkan kesadaran kritis
masyarakat terhadap realitas sosialnya, sehingga mampu mengubah kondisi mereka
menjadi lebih baik”. Jika level keilmuan dan level berpikir masyarakat
mengalami peningkatan, maka kualitas masyarakat pun akan membaik. Jika kualitas
masyarakat membaik, maka di tengah-tengah masyarakat yang berkualitas baiklah
pemimpin-pemimpin yang baik akan muncul.
Umpama ada setumpuk kacang tanah yang dikumpulkan di atas satu
nampan, jika kualitas kacang tanah tersebut berkualitas super semuanya, maka
siapapun yang mengambil kacang tanah tersebut, pasti akan mendapatkan kacang
tanah yang berkualitas. Dengan metode dan cara apapun orang mengambil kacang
tanah tersebut, bahkan ketika mengambil sambil menutup mata sekalipun, pasti
akan terambil kacang tanah yang berkualitas. Begitupun dengan msyarakat jika
masyarakat terjdiri dari orang-orang yang memiliki kualitas yang baik, maka metode
apapun yang dipakai dalam memunculkan pemimpin, apakah itu dengan deomkrasi
perwakilan atau demokrasi langsung, atau bahkan tidak menggunakan cara-cara
yang demokratis sekalipun, pada akhirnya akan memunculkan pemimpin yang
berkualitas.
Masyarakat kita telah sepakat untuk menerapkan demokrasi langsung
dalam memilih pemimpin, dari mulai pemilihan presiden, gubernur, sampai bupati
dan wali kota, semuanya dipilih secara langsung oleh masyarakat, tidak dipilih
oleh parlemen sebagaimana pada masa Orde Baru. Jika masyarkatnya berkualitas,
proses demokrasi akan berkualitas. Pemilu tidak akan diwarnai oleh berbagai
kecurangan, apakah itu serangan fajar, politik sembako, politik uang, transaksi
suara, dan lain sebagainya.. Masyarakat yang berkualitas akan berfikir mendalam
dan jauh ke depan, tidak hanya berfikir untuk saat ini, di sini, dan untuk
perutnya sendiri. Mereka akan berfikir bagaimana masa depan dia dan
generasinya, berifikir bagaiman orang lain di temapat yang lain, lebih jauh
lagi bahkan berfikir bagaimana kehidupan setelah kematian
Demokrasi sejatinya adalah sistem politik yang diperuntukkan bagi
masyarakat yang telah “dewasa”. Dewasa artinya memiliki kematangan fikiran
dalam memutuskan sebuah tindakan, yang berbasis pada hikmah/ilmu dan
kebijaksanaan. Bukan berdasarkan emosi dan pertimbangan-pertimbangan jangka
pendek yang bersifat nafsu hewani saja. Hal ini selaras dengan pandangan
Huntington (1991), yang menyatakan bahwa “stabilitas demokrasi memerlukan
budaya politik yang matang, di mana warga negara dapat berpikir rasional,
mendukung supremasi hukum, dan mampu mengendalikan dorongan emosional dalam
pengambilan keputusan”.
Sistem demokrasi sangat menjunjung tinggi persamaan hak semua
manusia, sehingga semua manusia dianggap sama di hadapan hukum dan pemerintahan.
Secara sosial, pandangan seperti ini tidak ada masalah, dan memang sepatutnya
seperti itu. Tetapi ketika berkaitan dengan penentuan kebijakan yang menyangkut
hajat hidup orang banyak, pandangan seperti ini menjadi problematika tersendiri
ketika masyarakatnya belum cukup “dewasa” untuk membuat putusan tersebut. Dahl
(1989) menjelaskan bahwa “demokrasi menuntut adanya tingkat kompetensi
tertentu dalam masyarakat agar keputusan yang diambil benar-benar mewakili
kepentingan publik, bukan sekadar hasil dari ketidaktahuan atau manipulasi”.
Memilih pemimpin sebuah masyarakat, apakah itu di level kabupaten,
provinsi, atau bahkan sebuah negara, adalah hajat besar yang akan menentukan
masa depan kehidupan publik yang jumlahnya tidak sedikit. Jika keputusan itu
benar maka maslahatnya sangat besar, tetapi jika keputusan itu salah maka
keburukannya juga sangat besar, dan akan dirasakan dalam waktu yang cukup lama,
paling tidak untuk lima atau sepuluh tahun yang akan datang. Menurut
Huntington (1991), “keberhasilan demokrasi tidak hanya bergantung pada
mekanisme pemilu, tetapi juga pada kesiapan masyarakat dalam memahami
konsekuensi dari pilihannya”.
Akan tetapi, tidak mungkin kita menggunakan sistem otoriter atau
kembali menggunakan sistem demokrasi perwakilan, karena modalnya terlalu besar
untuk merubah sebuah sistem. Sistem yang sudah ada memang sudah tepat, jika
masyarakatnya sudah “dewasa.” Menurut Huntington (1991), “demokrasi membutuhkan
prasyarat tertentu, termasuk tingkat pendidikan dan kesadaran politik yang
memadai, agar dapat berfungsi dengan baik”. Maka dari itu, kita perlu
melengkapi kekurangan dari sistem demokrasi langsung ini yaitu dengan
meningkatkan level kualitas masyarakat. Di sinilah dunia pendidikan berperan
penting, karena sejatinya pendidikan dilakukan adalah untuk meningkatkan
kualitas masyarakat sehingga level berpikirnya meningkat, bukan sekedar
menyiapkan para pekerja untuk memenuhi kebutuhan para pemodal di dalam dunia
industrinya. Sebagaimana dikatakan oleh Tilaar (2000), “pendidikan memiliki
peran strategis dalam membangun masyarakat yang kritis, kreatif, dan mampu
menghadapi tantangan global”.
Daftar Pustaka
Dahl, R. A.
(1989). Democracy and Its Critics. Yale University
PressFreire, P.
(1993). Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum.
Huntington,
S. P. (1991). The Third Wave: Democratization in the
Late Twentieth Century. Norman: University of Oklahoma Press.
Santoso,
T.
(2012). Pemimpin dan Kepemimpinan dalam Perspektif Masyarakat. Jakarta:
Gramedia.
Tilaar,
H. A. R. (2000). Paradigma Baru Pendidikan Nasional.
Jakarta: Rineka Cipta.
0 komentar:
Posting Komentar