Kamis, 05 Desember 2024

Tanggun Jawab Dunia Pendidikan Di Alam Demokrasi

Ilustrasi keseimbangan kualitas pendidikan dengan kualitas demokrasi, gambar: Koleksi pribadi

Oleh:

Ipan Setiawan

    Baru saja bangsa Indonesia melaksanakan perhelatan demokrasi dengan diselenggarakanya pilkada di sejumlah daerah pada 27 November 2024 beberapa pekan yang lalu. Ada pihak yang kecewa, ada pihak yang bergembera mendapatkan hasilnya.  Pertanyaanya adalah pakah pemimpin yang dihasilkan akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat banyak, atau justru melahirkan kesengsaraan?. Hal itu tergantung pada kebijakan pemimpin yang terpilih, kualitas kebijakan tentunya tergantung pada kualitas pemimpin, kualitas pemimpin sebanding dengan kualitas masyarakatnya, dan kualitas masyarakat sangat dipengaruhi oleh kualitas pendidikan.

Pendidikan adalah pusat pengkaderan sebuah bangsa. Di bidang pendidikan ini estafet perjalanan sebuah bangsa dipastikan keberlanjutannya. Dengan kata lain, jika pendidikan sebuah bangsa tidak berjalan dengan baik maka keberlangsungan masa depan sebuah bangsa akan suram. Di dunia pendidikan inilah disiapkan orang-orang yang nantinya akan mengisi pos-pos untuk menggerakkan roda perkembangan sebuah bangsa. Menurut Tilaar (2000), “pendidikan berfungsi sebagai sarana strategis dalam membentuk sumber daya manusia yang berkualitas dan menjadi modal dasar bagi pembangunan bangsa”.

Pendidikan yang berkualitas akan melahirkan pribadi-pribadi yang berkualitas. Pribadi-pribadi yang berkualitas akan melahirkan masyarakat yang berkualitas, dan masyarakat yang berkualitas akan melahirkan pemimpin yang berkualitas. Dalam sebuah kisah diceritakan pada satu waktu Imam Ali bin Abi Thalib pernah diprotes oleh rakyatnya terkait kepemimpinannya yang lebih buruk daripada pada masa kepemimpinan Khalifah-khalifah sebelumnya, yaitu Khalifah Umar dan Khalifah Utsman. Lalu Khalifah Ali Ra. dengan mudahnya menjawab, “Pada saat Umar dan Utsman menjadi Khalifah yang menjadi rakyatnya adalah orang-orang seperti aku. Sedangkan pada saat aku menjadi Khalifah yang menjadi rakyatnya adalah orang-orang seperti kamu.” Kisah ini memberikan sebuah gambaran bahwa kualitas pemimpin mencerminkan bagaimana kualitas rakyatnya. Jika kualitas pemimpin buruk maka masyarakat pun memiliki kualitas yang buruk. Sebaliknya, pemimpin yang baik menggambarkan bahwa kondisi masyarakat juga baik. Sebagaimana dikatakan oleh Santoso (2012), pemimpin adalah cerminan dari masyarakatnya; perubahan kualitas masyarakat akan berdampak langsung pada kualitas kepemimpinan.

Hal ini sangat logis, apalagi dalam sebuah masyarakat yang menganut paham demokrasi, terutama demokrasi langsung yang dianut oleh bangsa Indonesia. Karena penentuan pemimpin secara langsung ada di tangan masyarakat itu sendiri, maka siapapun pemimpin yang jadi menggambarkan bagaimana kualitas para pemilihnya.

Penyedia stok pemimpin bukanlah dunia pendidikan sebagaimana yang sering digembar-gemborkan saat ini bahwa pendidikan adalah penghasil calon-calon pemimpin masa depan bangsa. Penyedia stok pemimpin, sejatinya adalah masyarakat itu sendiri, karena pemimpin itu lahir di tengah-tengah masyarakat. Adapun dunia pendidikan perannya adalah memperbaiki masyarakat dan meningkatkan kualitasnya dengan menyebarkan dan menanamkan ilmu semasif mungkin di tengah-tengah masyarakat. Menurut Freire (1993), “pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang dapat meningkatkan kesadaran kritis masyarakat terhadap realitas sosialnya, sehingga mampu mengubah kondisi mereka menjadi lebih baik”. Jika level keilmuan dan level berpikir masyarakat mengalami peningkatan, maka kualitas masyarakat pun akan membaik. Jika kualitas masyarakat membaik, maka di tengah-tengah masyarakat yang berkualitas baiklah pemimpin-pemimpin yang baik akan muncul.

Umpama ada setumpuk kacang tanah yang dikumpulkan di atas satu nampan, jika kualitas kacang tanah tersebut berkualitas super semuanya, maka siapapun yang mengambil kacang tanah tersebut, pasti akan mendapatkan kacang tanah yang berkualitas. Dengan metode dan cara apapun orang mengambil kacang tanah tersebut, bahkan ketika mengambil sambil menutup mata sekalipun, pasti akan terambil kacang tanah yang berkualitas. Begitupun dengan msyarakat jika masyarakat terjdiri dari orang-orang yang memiliki kualitas yang baik, maka metode apapun yang dipakai dalam memunculkan pemimpin, apakah itu dengan deomkrasi perwakilan atau demokrasi langsung, atau bahkan tidak menggunakan cara-cara yang demokratis sekalipun, pada akhirnya akan memunculkan pemimpin yang berkualitas.

Masyarakat kita telah sepakat untuk menerapkan demokrasi langsung dalam memilih pemimpin, dari mulai pemilihan presiden, gubernur, sampai bupati dan wali kota, semuanya dipilih secara langsung oleh masyarakat, tidak dipilih oleh parlemen sebagaimana pada masa Orde Baru. Jika masyarkatnya berkualitas, proses demokrasi akan berkualitas. Pemilu tidak akan diwarnai oleh berbagai kecurangan, apakah itu serangan fajar, politik sembako, politik uang, transaksi suara, dan lain sebagainya.. Masyarakat yang berkualitas akan berfikir mendalam dan jauh ke depan, tidak hanya berfikir untuk saat ini, di sini, dan untuk perutnya sendiri. Mereka akan berfikir bagaimana masa depan dia dan generasinya, berifikir bagaiman orang lain di temapat yang lain, lebih jauh lagi bahkan berfikir bagaimana kehidupan setelah kematian

Demokrasi sejatinya adalah sistem politik yang diperuntukkan bagi masyarakat yang telah “dewasa”. Dewasa artinya memiliki kematangan fikiran dalam memutuskan sebuah tindakan, yang berbasis pada hikmah/ilmu dan kebijaksanaan. Bukan berdasarkan emosi dan pertimbangan-pertimbangan jangka pendek yang bersifat nafsu hewani saja. Hal ini selaras dengan pandangan Huntington (1991), yang menyatakan bahwa “stabilitas demokrasi memerlukan budaya politik yang matang, di mana warga negara dapat berpikir rasional, mendukung supremasi hukum, dan mampu mengendalikan dorongan emosional dalam pengambilan keputusan”.

Sistem demokrasi sangat menjunjung tinggi persamaan hak semua manusia, sehingga semua manusia dianggap sama di hadapan hukum dan pemerintahan. Secara sosial, pandangan seperti ini tidak ada masalah, dan memang sepatutnya seperti itu. Tetapi ketika berkaitan dengan penentuan kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, pandangan seperti ini menjadi problematika tersendiri ketika masyarakatnya belum cukup “dewasa” untuk membuat putusan tersebut. Dahl (1989) menjelaskan bahwa “demokrasi menuntut adanya tingkat kompetensi tertentu dalam masyarakat agar keputusan yang diambil benar-benar mewakili kepentingan publik, bukan sekadar hasil dari ketidaktahuan atau manipulasi”.

Memilih pemimpin sebuah masyarakat, apakah itu di level kabupaten, provinsi, atau bahkan sebuah negara, adalah hajat besar yang akan menentukan masa depan kehidupan publik yang jumlahnya tidak sedikit. Jika keputusan itu benar maka maslahatnya sangat besar, tetapi jika keputusan itu salah maka keburukannya juga sangat besar, dan akan dirasakan dalam waktu yang cukup lama, paling tidak untuk lima atau sepuluh tahun yang akan datang. Menurut Huntington (1991), “keberhasilan demokrasi tidak hanya bergantung pada mekanisme pemilu, tetapi juga pada kesiapan masyarakat dalam memahami konsekuensi dari pilihannya”.

Akan tetapi, tidak mungkin kita menggunakan sistem otoriter atau kembali menggunakan sistem demokrasi perwakilan, karena modalnya terlalu besar untuk merubah sebuah sistem. Sistem yang sudah ada memang sudah tepat, jika masyarakatnya sudah “dewasa.” Menurut Huntington (1991), “demokrasi membutuhkan prasyarat tertentu, termasuk tingkat pendidikan dan kesadaran politik yang memadai, agar dapat berfungsi dengan baik”. Maka dari itu, kita perlu melengkapi kekurangan dari sistem demokrasi langsung ini yaitu dengan meningkatkan level kualitas masyarakat. Di sinilah dunia pendidikan berperan penting, karena sejatinya pendidikan dilakukan adalah untuk meningkatkan kualitas masyarakat sehingga level berpikirnya meningkat, bukan sekedar menyiapkan para pekerja untuk memenuhi kebutuhan para pemodal di dalam dunia industrinya. Sebagaimana dikatakan oleh Tilaar (2000), “pendidikan memiliki peran strategis dalam membangun masyarakat yang kritis, kreatif, dan mampu menghadapi tantangan global”.

 

Daftar Pustaka

Dahl, R. A. (1989). Democracy and Its Critics. Yale University

PressFreire, P. (1993). Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum.

Huntington, S. P. (1991). The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century. Norman: University of Oklahoma Press.

Santoso, T. (2012). Pemimpin dan Kepemimpinan dalam Perspektif Masyarakat. Jakarta: Gramedia.

Tilaar, H. A. R. (2000). Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.

0 komentar: