Selasa, 05 November 2024

"Setan Kotak dan Setan Pipih" (sebuah opini)





Oleh:
 Ipan Setiawan 

      Saya percaya teori sosial yang menyatakan bahwa manusia dibentuk oleh lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial. Walaupun unsur hereditas atau keturunan juga memiliki peran dalam pembentukan seseorang, tapi tetap lingkungan memiliki peran yang sangat besar. Ibarat benih yang baik jika ditanam di tanah yang buruk pasti hasilnya buruk, namun benih yang buruk jika ditanam di tanah yang bagus, dia akan tumbuh dengan bagus.

        Maka manusia pun adalah produk lingkunganya, terutama lingkungan di mana manusia tersebut secara intens menerima informasi tentang berbagai hal dalam kehidupan sehari-harinya. Pada mulanya manusia menerima informasi dari orang tua, saudara, kerabat, teman yang hidup bersama, atau informasi tersebut diperoleh dari alam ketika manusia berinteraksi secara langsung dengan alam. Informasi-informasi tersebut membentuk pola fikir, dari pola fikir membentuk tindakan, tindakan yang dianggap benar dan sesuai akan terus dilakukan secara berulang-ulang sehingga membentuk kebiasaan, kebiasaan individu jika mendapatkan afirmasi dari lingkungan dan terjadi peniruan maka akan menjadi kebiasaan kolektif yang disebut adat istiadat.

        Seiring perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, informasi tidak hanya diperoleh dari alam atau lingkungan sosial secara langsung. Informasi bisa juga diperoleh manusia melalui media masa, baik media elektronik maupun media cetak. Teruntuk media elektronik di Indonesia pada mulanya hanya ada milik pemerintah, yang tentu kepentinganya adalah perbaikan masyarakat melalui jalur informasi. Namun belakangan muncullah media swasta yang kental dengan nuansa kapitalistik, karena disokong oleh para pemodal yang tentu saja motif utamanya adalah memperoleh keuntungan. Maka jenis konten media menjadi tidak terlalu penting, karena yang terpenting adalah konten tersebut memiliki rating tinggi, apapun jenis kontenya. Tujuanya untuk menarik para pemasang iklan yang menjadi sumber dari pundi-pundi keuntungan perusahaan. Di sinilah media masa terutama TV mulai ugal-ugalan menayangkan berbagai tayangan tanpa mempertimbangkan bagaimana dampak buruknya terhadap pola fikir dan prilaku masyarakat.

        Munculah keresahan beberapa pihak yang sangat peduli dengan kualitas masyarakat dan kualitas pendidikan anak-anak.  Keresahan itu bisa kita tangkap dari beberapa wacana yang beredar di masyarakat seperti "Anaku dididik Naruto", Anaku dididik Doraemon" dan lain-lain. Istilah-istilah ini adalah ungkapan sinisme beberapa pihak yang peduli dengan pendidikan atas efek merusak media masa terutama televisi. Bahkan ada yang memberikan televisi dengan istilah yang cukup mengerikan yaitu "kotak setan", karena dampaknya yang luar biasa merusak masyarakat khususnya kalangan usia sekolah. Namun belum lagi usai dengan permasalahan televisi, masyarakat kemudian dihadapkan pada sesuatu yang jauh lebih gila dan jauh lebih merusak daripada televisi, yaitu smartphone. 

        Perkembangan teknologi khususnya teknologi informasi dan komunikasi seperti bola salju yang terus menggelinding, semakin hari, semakin jauh, semakin besar, dan semakin cepat. Setiap teknologi selalu memiliki dua sisi. Satu sisi memberikan kemanfaatan bagi manusia, namun sisi yang lain teknologi seringkali memiliki sisi gelap yang merusak tatanan sebuah masyarakat. Hal ini terjadi jika ada kesenjangan antara budaya materi (perkembangan teknologi), dengan budaya non-materi, yaitu kesipan mental masyarakat dalam menerima kehadiran teknologi. Jika terjadi kesenjangan budaya materi dengan budaya non-materi, maka masyarakat akan mengalami gegar budaya atau kekagetan budaya, gegar budaya diindakasikan dengan munculnya perilaku-perilaku masyarakat yang tidak diharapkan ketika berinteraksi dengan teknologi.

        Masyarakat Indonesia pada umumnya dapat dikatakan belum siap menerima laju perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang bergulir dengan sangat cepat. Karena perangkat-perangkat mental yang harus dimiliki sebagai prasarat kemajuan teknologi masih sangat rendah. Seperti tingkat literasi dan numerasi yang sangat rendah, tingkat IQ yang sangat rendah, dan lain sebagainya. Sedangkan laju teknologi ibarat juggernaut, sebuah istilah yang diambil oleh Antony Giddens untuk menggambarkan kendaraan raksasa yang sulit dihentikan dan menggilas siapa saja yang dilewatinya. Sehingga Cultural Shock sulit dihindari, karena siap tidak siap masyarakat harus memasuki era baru yaitu era masyarakat digital.

           indikasi kekagetan budaya masyarakat Indonesia ini tersuguhkan dalam berbagai perilaku negatif para netizen (masyarakat pengguna internet) Indonesia di dunia maya. Indonesia terkenal memiliki netizen yang julid dan tidak sopan di dunia, pengakses situs mesum, pelaku judi online terbesar di dunia untuk kriteria pelajar, bahkan masyarakat Indonesia adalah pemegang HP terlama di dunia, yaitu selama enam jam per hari. Kenapa memegang HP lama diindikasikan buruk? Karena berkaitan dengan produktivitas seseorang, dengan asumsi semakin lama seseorang memegang HP semakin tidak produktif orang tersebut.

         Parahnya fenomena cultural shock ini justru terjadi di kalangan remaja yang notabene masih berada di usia belajar. Dan penggunaan HP di kalangan pelajar seolah mendapatkan dukungan dari institusi pendidikan dengan menjadikanya salah satu alat yang digunakan dalam pembelajaran. Hal ini semakin mendapatkan momentumnya ketika terjadi wabah COVID 19, yang memaksa sekolah untuk menyelenggarkan pendidikan secara daring atau online. Seolah telah menemukan metode pembelajaran baru yang lebih mutakhir, metode pembelajaran menggunakan HP pun terus dilakukan bahkan setelah wabah COVID 19 dinyatakan sudah selesai. 

            Pengguanaan HP di sekolah yang sebelum COVID dibatasi, pasca covid tidak lagi. Penggunaan HP oleh para siswa di sekolah bahkan di ruang kelas menjadi hal yang biasaja saja. Bolehnya siswa menggunakan HP di lingkungan sekolah, pada mulanya adalah atas dasar pertimbangan bahwa HP dapat menunjang pembelajaran dengan mengakomodasi teknologi berbasis digital. Tetapi alih-alaih menunjang proses pembelajaran, HP justru lebih banyak digunakan oleh siswa untuk mengakses berbagai sarana hiburan, dari mulai game, tik-tok youtube dan lain sebagainya.

            Dahulu ketika acara-acara hiburan di televisi menjadi tren di kalangan para penggunanya, hal itu saja sudah menjadi keresahan tersendiri bagi beberapa kalangan terutama para pendidik dan orang tua. Padahal aksesnya terbatas dan tidak portable. Sedangkan HP bisa dipegang oleh setiap orang, bisa di bawa ke mana saja, bisa mengakses apa saja, bahkan bisa memproduksi konten apa saja baik konten hiburan ataupun konten informasi, dengan proses produksi asal asalan. Meskipun HP memiliki kemampuan mengerikan dalam merekayasa fikiran melebihi dari televisi, nasib HP lebih "mujur" dari televisi, karena HP keberadaanya bisa diakomodir di dalam dunia pendidikan, sebagai salah satu sarana penunjang pendidikan.

        Padahal sebagaimana yang sudah disebutkan di awal-awal tulisan ini, bahwa pola fikir manusia dibentuk oleh informasi-informasi yang dia terima. Berbagai informasi yang diterima pelajar dari HP, apalagi dalam proses penggunaan HP yang tanpa bimbingan guru tentu lebih cenderung berdampak buruk daripada menuai manfaatnya. Siswa menjadi sulit fokus, fokus siswa teralihkan dari pelajaran ke berbagai macam hiburan, akhirnya pembelajaran menjadi tidak efektif. Selain itu peran guru sebagai "ing ngarso sung tulodo" atau peran keteladanan guru menjadi tidak efektif. Karena siswa akan lebih meniru model-model perilaku yang secara sadar atau tidak telah diinstalkan ke dalam dirinya melalui berbagai tayangan hiburan yang mereka tonton di HP.

        Maka dari itu keberadaan HP di sekolah, apakah itu dengan alasan mengadopsi kemajuan teknologi dalam pembelajaran atau karena alasan yang lain perlu untuk dikaji ulang. Mungkin ada baiknya kita menerapkan pola pembelajaran masa lalu yang tidak terlalu mengandalkan teknologi atau alat. Kalaupun harus menggunakan teknologi termasuk HP, sebaiknya dipertimbangkan berbagai kemungkinan buruknya dan dipertimbangkan pula cara mengantisipasi kemungkinan buruk itu dengan berbagai perangkat sistem di sekolah termasuk regulasi atau aturan yang jelas dan tegas yang mampu difahami dan dijalankan semua warga sekolah. Juga sekolah perlu memikirkan berbagai kegiatan alternatif bagi siswa, untuk mengalihkan kemelekatan dirinya dengan HP.

 Mau komentar atau berdiskusi silahkan di kolom komentar ya !




0 komentar: